Rabu, 02 Maret 2011

Dislokasi Sendi

LATAR BELAKANG

Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan me lindungi beberapa organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit pada gerakan dan menye diakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi tulang yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus di jaga agar terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan terjadinya patah tulang atau dislokasi tulang. Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi.
Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejaklahir (kongenital).















BAB II PEMBAHASAN

PENGERTIAN
Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (brunner&suddarth).
Keluarnya (bercerainya)kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, dkk. 2000).
Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang di sertai luksasi sendi yang disebut fraktur dis lokasi. ( Buku Ajar Ilmu Bedah, hal 1138).
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
KLASIFIKASI

Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dislokasi congenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatic
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.




Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :
1) Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi.
2) Dislokasi Kronik
3) Dislokasi Berulang
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.
Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
ETIOLOGI

Dislokasi disebabkan oleh :
1) Cedera olah raga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
2) Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
3) Terjatuh
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
4) Patologis : terjadinya ‘tear’ligament dan kapsul articuler yang merupakan
kompenen vital penghubung tulang
PATOFISIOLOGI
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah karakoid).
MANIFESTASI KLINIS
Nyeri terasa hebat .Pasien menyokong lengan itu dengan tangan sebelahnya dan segan menerima pemeriksaan apa saja .Garis gambar lateral bahu dapat rata dan kalau pasien tak terlalu berotot suatu tonjolan dapat diraba tepat di bawah klavikula.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Dengan cara pemeriksaan Sinar –X ( pemeriksaan X-Rays ) pada bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa Glenoid, Kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi.
KOMPLIKASI
Dini
1) Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut
2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
3) Fraktur disloksi
Komplikasi lanjut
1. Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi
2. Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
3. Kelemahan otot
PENATALAKSANAAN
Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi.
Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil.
Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4X sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi
Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Identitas dan keluhan utama
Riwayat penyakit lalu
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat masa pertumbuhan
Pemeriksaan fisik terutama masalah persendian : nyeri, deformitas, fungsiolesa misalnya: bahu tidak dapat endorotasi pada dislokasi anterior bahu.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit
4. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas dan perubahan bentuk tubuh.
INTERVENSI
 Dx 1
Kaji skala nyeri
Berikan posisi relaks pada pasien
Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Kolaborasi pemberian analgesic
 Dx 2
Kaji tingkat mobilisasi pasien
Berikan latihan ROM
Anjurkan penggunaan alat Bantu jika diperlukan
 Dx. 3
Bantu Px mengungkapkan rasa cemas atau takutnya
Kaji pengetahuan Px tentangh prosedur yang akan dijalaninya.
Berikan informasi yang benar tentang prosedur yang akan dijalani pasien
 Dx 4
Kaji konsep diri pasien
Kembangkan BHSP dengan pasien
Bantu pasien mengungkapkan masalahnya
Bantu pasien mengatasi masalahnya.










DAFTAR PUSTAKA
1. http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
2. Lukman nurna ningsih. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengang ganguan sistem muskuloskeletal. Jakarta : Salemba medika.

Artritis Reumatoid

ARTRITIS REUMATOID

PENDAHULUAN
Mengutip pendapat Sjamsuhidajat (1997), arthritis rheumatoid merupakan penyakit autoimun dari jaringan ikat terutama sinovial dan kausanya multifaktor. Penyakit ini ditemukan pada semua sendi dan sarung sendi tendon, tetapi paling sering di tangan. Selain menyerang sendi tangan, dapat pula menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki, dan lutut. Arthritis kronik yang terjadi pada anak yang menyerang satu sendi atau lebih, dikenal dengan arthritis rheumatoid juvenile. Noer S (1996) mengatakan, arthritis rheumatoid merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh.
Biasanya arthritis rheumatoid timbul secara sistemik. Gejala yang timbul berupa nodul subkutan yang terlihat pada 30% penderita. Nodul sering terdapat di ekstremitas atas dan tampak sebagai vaskulitis rheumatoid, yang merupakan manifestasi ekstraartikuler. Bila penyakit ini terjadi bukan pada sendi, seperti di bursa, sarung tendon, dan lokasi lainnya dinamakn rheumatoid ekstraartikuler. Biasanya terjadi destruksi sendi progresif, walaupun terjadi masa serangan, sendi tetap dapat mengalami masa remisi.
Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara. Pertama adalah destruksi pencernaan oleh produksi protease, kolagenase, dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecahkan tulang rawan, ligamen, tendon, dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersam-sama dengan radikal oksigen dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam cairan sinovial. Proses ini diduga adalah bagian dari suatu respons autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal.
Selain itu, destruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus rheumatoid. Panus merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Sepanjang pinggir panus didapatkan destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzi oleh sel-sel di dalam panus tersebut.
Berdasarkan penelitian Kalinoglou, et, al., (2008), indeks masa tubuh (BMI), dan lemak tubuh klien arthritis rheumatoid berhubungan dengan merokok sigaret. Penurunan masa otot berhubungan dengan perokok berat.

PENGERTIAN
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya. Karakteristik RA adalah terjadinya kerusakan dan poliferasi pada membran synovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas. Mekanisme imunologis tampak berperan penting dalam memulai dan timbulnya penyakit ini. Pendapat lain mengatakan, arthritis rheumatoid adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai sistem organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan penyambung yang diperantarai oleh imunitas.

EPIDEMIOLOGI
Arthritis rheumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras da kelompok etnik. Walaupun belum dapat dipastikan sebagai penyebab, faktor genetik, hormonal, infeksi, dan heat shock protein (HSP) telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan morbiditas penyakit ini. HSP adalah sekelompok protein yang berukuran sedang (60 – 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai suatu respons terhadap stress. Mekanisme hubungan antara sel T dengan HSP belum diketahui dengan jelas.

INSIDEN
Arthritis rheumatoid terjadi kira-kira 2,5 kali lebih sering menyerang wanita darpada pria (Price, 1995). Menurut Noer S (1996) perbandingan antara wanita dan pria sebesar 3 : 1, dan wanita usia subur perbandingan mencapai 5 : 1. Jadi perbandingan antara wanita dan pria kira-kira 1 : 2,5 – 3. Insiden meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada wanita. Kecenderungan insiden yang terjadi pada wanita dan wanita subur diperkirakan karena adanya gangguan dalam kesimbangan hormonal (estrogen) tubuh, namun hingga kini belum dapat dipastikan apakah faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini. Penyakit ini biasanya pertama kali muncul pada usia 25 – 50 tahun, puncaknya adalah antara usia 40 hingga 60 tahun. Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia, dari berbagai suku bangsa. Sekitar satu persen orang dewasa menderita arthritis rheumatoid yang jelas, dan dilaporkan bahwa di Amerika Serikat setiap tahun timbul kira-kira 750 kasus baru per satu juta penduduk (Price, 1995).

PENYEBAB
Penyebab artirits rheumatoid masih belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal mengenai patologis penyakit ini telah terungkap. Penyakit ini belum dapat dipastikan mempunyai hubungan dengan faktor genetic. Namun, berbagai faktor (termasuk kecenderugan genetik) bisa mempengaruhi reaksi autoimun. Faktor-faktor yang berperan antara lain adalah jenis kelamin, infeksi (Price, 1995), keturunan (Price, 1995; Noer S, 1996), dan lingkungan (Noer S, 1996). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit arthritis rheumatoid adalah jenis kelamin, keturunan, lingkungan, dan infeksi.
Dari penelitian mutakhir, diketahui patogenesis arthritis rheumatoid dapat terjadi akibat rantai peristiwa imunologis yang terdapat dalam genetik. Terdapat kaitan dengan pertanda genetic seperti HLA-Dw4 dan HLA-DR5 pada orang kulit putih. Namun pada orang Amerika berkulit hitam, Jepang, dan Indian Chippewa, hanya ditemukan kaitan dengan HLA-Dw4.

PATOFISIOLOGI
Pada arthritis rheumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran synovial, dan akhirnya membentuk panus. Panus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya menghilangkan permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan generative dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.

MANIFESTASI KLINIS
Ada beberapa manifestasi klinis yang lazim ditemukan pada klien artritis reumatoid. Manifestasi ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan. Oleh karenanya penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi.
• Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat.
• Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
• Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam.
• Artritis erosif, merupakan ciri khas artritis reumatoid pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan dapat dilihat pada radiogram.

Deformitas
Kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Dapat terjadi pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere, dan leher angsa merupakan beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada klien. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan akan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
Nodul-nodul reumatoid adalah masa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian nodul-nodul ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodul-nodul ini biasanya merupakan suatu petunjuk penyakit yang aktif dan lebih berat.
Manifestasi ekstraartikuler , artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.






Tabel: Manifestasi Ekstraartikuler dari Artritis Reumatoid

Organ

Manifestasi


Kulit



Jantung




Paru-paru


Mata

Sistem saraf




Sistemik
Nodula subkutan.
Vaskulitis, menyebabkan bercak-bercak coklat.
Lesi-lesi ekimotik.

Perikarditis.
Tamponade perikardium (jarang).
Lesi peradangan pada miokardium dan katup jantung.

Pleuritis dengan atau tanpa efusi.
Peradangan pada paru-paru.

Skleritis

Neuropati perifer.
Sindrom kompresi perifer, termasuk sindrom carpal tunner, meuropati saraf ulnaris, paralisis peronealis, dan abnormalitas vertebra servikal.

Anemia (sering).
Osteoporosis generalisata.
Sindrom Felty.
Sindrom Sjogren (keratokonjungtivitis sika).
Amiloidosis (jarang).

Tabel: Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid, Revisi 1987.
Kriteria definisi
1. Kaku pagi hari.



2. Arthritis pada 3 daerah.










3. Arthritis pada persendian tangan


4. Arthritis simetris






5. Nodul rheumatoid




6. Faktor rheumatoid serum





7. Perubahan gambaran Kekakuan pagi hari pada persendian dan di sekitarnya, sekurangnya selama satu jam sebelum perbaikan maksimal.

Pembengkakan jaringan lunak, persendian atau terjadi efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya tiga sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter. Dalam criteria ini terdapat 14 persendian yang memenuhi criteria yaitu PIP*, MCP*, pergelangan tangan, siku pergelangan kaki, serta MTP* kiri dan kanan.

Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti yang tertera di atas.

Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada criteria dua) pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris).

Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta-artikular yang diobservasi oleh seorang dokter.

Terdapatnya titer abnormal factor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5 % kelompok control yang diperiksa.

Perubahan gambaran radiologis yang khas bagi arthritis rheumatoid pada pemeriksaan sinar X tangan posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoarthritis saja tidak memenuhi persyaratan).

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis rheumatoid jika sekurang-kurangnya memenuhi empat dari tujuh criteria di atas. Criteria satu sampai empat harus terdapat minimal selama enam minggu. Pasien dengan dua diagnosis tidak dieksklusikan. Pembagian diagnosis sebagai arthritis rheumatoid klasik, definit, probable atau possible tidak perlu dibuat. * PIP: Proksimal Interphalangeal, MCP: Metacarpophalangeal, MTP: Metatarsophalangeal.

EVALUASI DIAGNOSTIK
Sekitar 85% klien arthritis rheumatoid mempunyai autoantibody di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor rheumatoid. Autoantibody ini adalah suatu faktor anti-gama globulin (IgM) yang bereaksi terhadap perubahan IgC. Titer yang tinggi, lebih besar dari 1 : 160, biasanya dikaitkan dengan nodul reumaotid, penyakit yang berat, vaskulitis, dan prognosis yang buruk.
Faktor rheumatoid adalah suatu indicator diagnosis yang membantu, tetapi uji untuk menemukan faktor ini bukanlah suatu uji untuk menyingkirkan diagnosis arthritis rheumatoid. Hasil yang positif juga dapat menyatakan adanya penyakit jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik progresif, dan dermatomiositis. Sekitar lima persen orang normal memiliki faktor rheumatoid yang positif dalam serumnya, dan sebanyak 20% orang normal yang berusia di atas 60 tahun dapat memiliki faktor rheumatoid dalam titer yang rendah.
Laju endap darah (LED) adalah pengukuran suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik didalam darah. Pada arthritis rheumatoid nilainya bisa mencapai 100 mm/jam atau lebih. Hal ini pertanda LED dapat dipakai untuk memantau aktivitas penyakit. Anemia normositik normokromik dapat disebabkan oleh arthritis rheumatoid melalui pengaruhnya terhadap sumsum tulang.
Pada anemia tersebut, klien tidak berespons terhadap pengobatan biasa dan bahkan dapat membuat klien merasa cepat lelah. Sering kali juga terdapat anemia kekurangan besi sebagai akibat pemberian obat untuk mengobati penyakit ini. Anemia semacam ini dapat berespons terhadap pemberian zat besi.
Cairan sinovial normal bersifat jernih, berwarna kuning muda dengan hitung sel darah putih kurang dari 200/mm³. Pada penyakit ini cairan sinovial kehilangan viskositasnya dan hitung sel darah putih meningkat mencapai 15.000 – 20.000/mm³. Hal ini membuat cairan menjadi tidak jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuannya tidak kuat dan mudah pecah.
Gambaran radiologik, menunjukkan tidak ditemukannya kelainan kecuali pembengkakan jaringan lunak pada tahap awal penyakit tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang berat, dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya tulang rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan pengurangan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini sifatnya tidak reversibel.
Pemeriksaan diagnostic arthritis rheumatoid dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada tahap dini mungkin hanya ditemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif, perubahan-perubahan yang terjadi pada sendi dapat minor, dan gejala-gejalanya hanya bersifat sementara. Penemuan diagnosis tidak hanya bersandar pada satu karakteristik saja.

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari program pengobatan adalah untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari klien, serta mencegah dan/atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi. Penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan itu meliputi pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi, serta obat-obatan.
Pengobatan harus diberikan secara paripurna, karena penyakit sulit sembuh. Oleh karena itu, pengobatan dapat dimulai secara lebih dini. Klien harus diterangkan mengenai penyakitnya dan diberikan dukungan psikologis. Nyeri dikurangi atau bahkan dihilangkan, reaksi inflamasi harus ditekan, fungsi sendi dipertahankan, dan deformitas dicegah dengan obat antiinflamasi nonsteroid, alat penopang ortopedis, dan latihan terbimbing.
Pada keadaan akut kadang dibutuhkan pemberian steroid atau imunosupresan. Sedangkan, pada keadaan kronik sinovektomi mungkin berguna bila tidak ada destruksi sendi yang luas. Bila terdapat destruksi sendi atau deformitas dapat dianjurkan dan dilakukan tindakan artrodesis atau artroplastik. Sebaiknya pada revalidasi disediakan bermacam alat bantu untuk menunjang kehidupan sehari-hari di rumah maupun di tempat kerja.
Langkah pertama dari program penatalaksanaan arthritis rheumatoid adalah memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada klien, keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan klien. Pendidikan kesehatan yang diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologi penyakit, penyebab dan prognosis penyakit, semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit, dan metode-metode yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan kesehatan ini harus dilakukan secara terus-menerus. Pendidikan dan informasi kesehatan juga dapat diberikan dari bantuan klub penderita, badan-badan kemasyarakatan, dan dari orang-orang lain yang juga menderita arthritis rheumatoid, serta keluarga mereka.
Istirahat adalah penting karena arthritis rheumatoid biasanya disertai rasa lelah yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat timbul setiap hari tetapi ada masa-masa di mana klien merasa keadaannya lebih baik atau lebih berat. Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat apabila beristirahat. Hal ini memungkinkan klien dapat mudah terbangun dari tidurnya pada malam hari karena nyeri. Disamping itu latihan-latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, dan sebaiknya dapat dilakukan sedikitnya dua kali sehari. Obat-obat penghilang nyeri mungkin perlu diberikan sebelum latihan, dan mandi paraffin dengan suhu yang dapat diatur antara suhu panas dan dingin dapat dilakukan. Alat-alat pembantu dan adaptif mungkin diperlukan untuk melakukan aktivitas kehisupan sehari-hari. Latihan yang diberikan sebaiknya dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah mendapatkan pelatihan sebelumnya, seperti ahli terapi fisik atau terapi kerja karena latihan yang berlebihan dapat merusak struktur-struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
Penderita arthritis rheumatoid tidak memerlukan diet khusus karena variasi pemberian diet yang ada belum terbukti kebenarannya. Prinsip umum untuk memperoleh diet seimbang sangat penting. Penyakit ini dapat juga menyerang sendi temporomandibular, sehingga membuat gerakan mengunyah menjadi sulit. Sejumlah obat-obat tertentu dapat menyebabkan rasa tidak enak pada lambung dan mengurangi nutrisi yang diperlukan. Pengaturan berat badan dan aktivitas klien haruslah seimbang karena biasanya klien akan mudah menjadi terlalu gemuk disebabkan aktivitas klien dengan penyakit ini relative rendah. Namun, bagian yang penting dari seluruh program penatalaksanaan adalah pemberian obat.
Obat-obat dipakai untukmengurangi nyeri, meredakan peradangan, dan untuk mencoba mengubah perjalanan penyakit. Nyeri hamper tidak dapat dipisahkan dari arthritis rheumatoid, sehingga ketergantungan terhadap obat harud diusahakan seminimum mungkin. Obat utama pada arthritis rheumatoid adalah obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (NSAID).
Obat antiinflamasi nonsteroid bekerja dengan menghalangi proses produksi mediator peradangan. Tepatnya menghambat sintesis prostaglandin atau siklo-oksigenase. Enzim-enzim ini mengubah asam lemak sistemik endogen, yaitu asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, dan radikal-radikal oksigen.
PENGKAJIAN
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Nyeri sendi karena pergerakan, nyeri tekan, yang memburuk dengan stres pada sendi; kekakuan sendi pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan simeteris. Keterbatasan fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, aktivitas istirahat, dan pekerjaan. Gejala lain adalah keletihan dan kelelahan yang hebat.
Tanda : Malaise, keterbatasan rentang gerak; atrofi otot, kulit; kontraktur/kelainan pada sendi dan otot.
Kardiovaskular
Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/kaki, misalnya pucat intermitten, sianotik, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal.
Integritas Ego
Gejala : Faktor-faktor stres akut/kronis, misalnya finansial, pekerjaan, ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan social. Keputusasaan dan ketidakberdayaan. Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas diri misalnya ketergantungan pada orang lain, dan perubahan bentuk anggota tubuh.
Makanan/Cairan
Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/mengonsumsi makanan/cairan adekuat; mual, anoreksia, dan kesulitan untuk mengunyah.
Tanda : Penurunan berat badan, dan membrane mukosa kering.
Hygiene
Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara mandiri. Ketergantungan pada orang lain.
Neurosensori
Gejala : Kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Fase akut dari nyeri (disertai/tidak disertai pembengkakan jaringan lunak pada sendi). Rasa nyeri kronis dan kekakuan (terutama pada pagi hari).



Keamanan
Gejala : Kulit mengilat, tegang; nodus subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki, kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan menetap, kekeringan pada mata, dan membran mukosa.
Interaksi Sosial
Gejala : kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain, perubahan peran, isolasi.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan yang dapat ditemukan pada klien rheumatoid arthritis (Doenges, 2000) adalah sebagai berikut:
1. Nyeri akut/kronis berhubungan denhan distensi jaringan akibat akumulasi cairan/proses inflamasi, destruksi sendi.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, nyeri/ketidaknyamanan, intoleransi terhadap aktivitas atau penurunan kekuatan otot.
3. Gangguan citra tubuh/perubahan penampilan peran berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas umum, peningkatan penggunaan energi atau ketidakseimbangan mobilitas.
4. Kurang perawatan diri (uraikan) berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal, penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri saat bergerak atau depresi.
5. Risiko tinggi kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan rumah berhubungan dengan proses penyakit degenerative jangka panjang, sistem pendukung tidak adekuat.
6. Kurang pengetahuan/kebutuhan belajar mengenai penyakit, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.
Sementara Carpenito (1995) merumuskan diagnosis keperawatan pada klien rheumatoid arthritis, adalah sebagai berikut:
1. Kelemahan berhubungan dengan penurunan mobilitas.
2. Risiko tinggi kerusakan membran mukosa oral berhubungan dengan pengaruh obat dan sindrom Sjogren.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, fibrosistis.
4. Risiko tinggi isolasi social berhubungan dengan kelemahan dan kesulitan ambulasi.
5. Gangguan pola seksual berhubungan dengan nyeri, kelemahan, sulit mengatur posisi, dan kurang adekuat lubrikasi.
6. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan kesulitan/ketidakmampuan klien.
7. Ketidakberdayaan berhubungan dengan perubahan fisik dan psikologis akibat penyakit.



RENCANA KEPERAWATAN
Rencana asuhan keperawatan pada klien arthritis rheumatoid di bawah ini, disusun berdasarkan diagnosis keperawatan, tindakan keperawatan, dan rasionalasis (Doenges, 2000).
1. diagnosis Keperawatan: Nyeri akut/kronis berhubungan dengan distensi jaringan akibat akumulasi cairan proses inflamasi, destruksi sendi.
Tindakan Rasional
Mandiri
1. kaji keluhan nyeri, skala nyeri, serta catat lokasi dan intensitas, faktor-faktor yang mempercepat, dan respons rasa sakit nonverbal.

2. Berikan matras/kasur keras, bantal kecil. Tinggikan tempat tidur sesuai kebutuhan.





3. Biarkan klien mengambil posisi yang nyaman waktu tidur atau duduk di kursi. Tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi.

4. Tempatkan/pantau penggunaan bantal, karung pasir, gulungan trokanter, bebat atau brace.




5. Anjurkan klien untuk sering merubah posisi. Bantu klien untuk bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan di bawah, serta hindari gerakan yang menyentak.

6. Anjurkan klien untuk mandi air hangat. Sediakan waslap hangat untuk kompres sendi yang sakit. Pantau suhu air kompres, air mandi, dan sebagainya.



7. Berikan masase yang lembut.


8. Dorongan penggunaan teknik manajemen stress, misalnya relaksasi progresif, sentuhan terapeutik, biofeedback, visualisasi, pedoman imajinasi, hypnosis diri, dan pengendalian napas.

9. Libatkan dalam aktivitas hiburan sesuai dengan jadwal aktivitas klien.



10. Beri obat sebelum dilakukan aktivitas/latihan yang direncanakan sesuai petunjuk.

Kolaborasi
11. Berikan obat sesuai petunjuk:
• Asetilsalisilat (Aspirin).











• NSAID lainnya, misalnya ibuprofen (motrin), naproksen, sulindak, piroksikam (feldene), fenoprofen.

• D-penisilamin (cuprimine).












• Antasida.




• Produk kodein.







• Bantu klien dengan terapi fisik, misalnya sarung tangan paraffin, bak mandi dengan kolam bergelombang.

• Berikan kompres dingin jika dibutuhkan.


• Pertahankan unit TENS jika digunakan.



• Siapkan intervensi pembedahan, misalnya sinovektomi.



1. Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan efektivitas program.


2. Matras yang empuk/lembut, bantal yang besar akan menjaga pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan stress pada sendi yang sakit. Peninggian tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang nyeri.

3. Pada penyakit yang berat/eksaserbasi, tirah baring mungkin diperlukan untuk membatasi nyeri/cedera.


4. Mengistirahatkan sendi-sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral. Penggunaan brace dapat menurunkan nyeri/kerusakan pada sendi. Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan hilang mobilitas/fungsi sendi.

5. Mencegah terjadinya kelelahan unum dan kekakuan sendi. Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/rasa sakit pada sendi.


6. Meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa sakit, dan menghilangkan kekakuan pada pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan.

7. Meningkatkan relaksasi/mengurangi tegangan otot.

8. Meningkatkan relaksasi, memberikan rasa kontrol nyeri, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.




9. Memfokuskan kembali perhatian, memberikan stimulasi, dan meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan sehat.

10. Meningkatkan relaksasi, mengurangi tegangan otot/spasme, memudahkan untuk ikut serta dalam terapi.


11. Obat-obatan:
• Bekerja sebagai antiinflamasi dan efek analgesik ringan dalam mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas. ASA harus dipakai secara regular untuk mendukung kadar dalam darah terapeutik. Riset mengindikasikan bahwa ASA memiliki indeks toksisitas yang paling rendah dari NSAID lain yang diresepkan.

• Dapat digunakan bila klien tidak memberikan respons pada aspirin atau untuk meningkatkan efek dari aspirin.

• Dapat mengontrol efek-efek sistemik dari RA jika terapi lainnya tidak berhasil. Efek samping yang lebih berat misalnya trombositopenia, leucopenia, anemia aplastik membutuhkan pemantauan yang ketat. Obat harus diberikan di antara waktu makan, karena absorpsi obat menjadi tidak seimbang akibat makanan dan pproduksi antasida dan besi.

• Diberikan bersamaan dengan NSAID untuk meminimalkan iritasi/ketidaknyamanan lambung.

• Meskipun narkotik umumnya adalah kontraindikasi, namun karena sifat kronis dari penyakit, penggunaan jangka pendek mungkin diperlukan selama periode eksaserbasi akut untuk mengontrol nyeri yang berat.

• Memberikan dukungan hangat/panas untuk sendi yang sakit.


• Rasa dingin dapat menghilangkan nyeri dan bengkak pada periode akut.

• Rangsang elektrik tingkat rendah yang konstan dapat menghambat transmisi sensasi nyeri.

• Pengangkatan sinovium yang meradang dapat mengurangi nyeri dan membatasi progresi dari perubahan degeneratif.

2. Diagnosis Keperawatan: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, nyeri/ketidaknyamanan, intoleransi terhadap aktivitas atau penurunan kekuatan otot.
Tindakan Rasional
Mandiri
1. Evaluasi/lanjutkan pemantauan tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi.

2. Pertahankan istirahat tirah baring/duduk jika diperlukan. Buat jadwal aktivitas yang sesuai dengan toleransi untuk memberikan periode istirahat yang terus-menerus dan tidur malam hari yang tidak terganggu.

3. Bantu klien latihan rentang gerak pasif/aktif, demikian juga latihan resistif dan isometrik jika memungkinkan.




4. Ubah posisi klien setiap dua jam dengan bantuan personel yang cukup. Demonstrasikan/bantu teknik pemindahan dan penggunaan bantuan mobilitas.


5. Posisikan sendi yang sakit dengan bantasl, kantung pasir, gulungan trokanter, bebat, dan brace.



6. Gunakan bantal kecil/tipis di bawah leher.

7. Dorong klien mempertahankan postur tegak dan duduk, berdiri, berjalan.

8. Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikkan kursi/kloset, menggunakan pegangan tangga pada bak/pancuran dan toilet, penggunaan alat bantu mobilitas/kursi roda.

Kolaborasi
9. Konsultasi dengan ahli terapi fisik/okupasi dan spesialis vokasional.




10. Berikan matras busa/pengubah tekanan.



11. Berikan obat-obatan sesuai indikasi:
• Agen antireumatik, misalnya garam emas, natrium tiomaleat.









• Steroid



12. Siapkan intervensi bedah:
• Artroplasti.



• Prosedur pelepasan tunnel, perbaikan tendon, ganglionektomi.

• Implant sendi.
1. Tingkat aktivitas/latihan tergantung dari perkembangan resolusi proses inflamasi.

2. Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh fase penyakit yang penting, untuk mencegah kelelahan, dan mempertahankan kekuatan.


3. Mempertahankan/meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot, dan stamina umum. Latihan yang tidak adekuat dapat menimbulkan kekakuan sendi, karenanya aktivitas yang berlebihan dapat merusak sendi.

4. Menghilangkan tekanan pada jaringan dan meningkatkan sirkulasi. Mempermudah perawatan diri dan kemandirian klien. Teknik pemindahan yang tepat dapat mencegah robekan abrasi kulit.

5. Meningkatkan stabilitas jaringan (mengurangi risiko cedera) dan mempertahankan posisi sendi yang diperlukan dan kesejajaran tubuh serta dapat mengurangi kontraktur.

6. Mencegah fleksi leher.


7. Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.

8. Menghindari cedera akibat kecelakaan/jatuh.





9. Berguna dalam memformulasikan program latihan/aktivitas yang berdasarkan pada kebutuhan individual dan dalam mengidentifikasi alat/bantuan mobilitas.

10. Menurunkan tekanan pada jaringan yang mudah pecah untuk mengurangi risiko imobilitas/terjadi dekubitus.

11. Obat-obatan:
• Krisoterapi (garam emas) dapat menghasilkan remisi dramatis/terus-menerus tetapi dapat mengakibatkan inflamasi rebound bila terjadi penghentian atau dapat terjadi efek samping serius, misalnya krisis nitrotoid seperti pusing, penglihatan kabur, kemerahan tubuh, dan berkembang menjadi syok anafilaktik.
• Mungkin dibutuhkan untuk menekan inflamasi sistemik akut.

12. Intervensi bedah:
• Perbaikan pada kelemahan periartikuler dan subluksasi dapat meningkatkan stabilitas sendi.
• Perbaikan berkenaan dengan defek jaringan penyambung, meningkatkan fungsi, dan mobilitas.
• Pergantian mungkin diperlukan untuk memperbaiki fungsi optimal dan mobilitas.

Diagnosis Keperawatan: gangguan citra tubuh/perubahan penampilan peran berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas umum, peningkatan penggunaan energi atau ketidakseimbangan mobilitas.
Tindakan Rasional
Mandiri
1. Dorong klien mengungkapkan perasaannya mengenai proses penyakit dan harapan masa depan.


2. Diskusikan arti dari kehilangan/perubahan pada klien/orang terdekat. Pastikan bagaimana pandangan pribadi klien dalam berfungsi dalam gaya hidup sehari-hari, termasuk aspek-aspek seksual.

3. Diskusikan persepsi klien mengenai bagaimana orang terdekat menerima keterbatasan klien.

4. Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan, serta ketergantungan.


5. Observasi perilaku klien terhadap kemungkinan menarik diri, menyangkal atau terlalu memperhatikan perubahan tubuh.

6. Susun batasan pada perilaku maladaptive. Bantu klien untuk mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu mekanisme koping yang adaptif.

7. Ikut sertakan klien dalam merencanakan perawatan dan membuat jadwal aktivitas.


8. Bantu kebutuhan perawatan yang diperlukan klien.

9. Berikan respon/pujian positif bila perlu.



Kolaborasi
10. Rujuk pada konseling psikiatri, misalnya perawat spesialis psikiatri., psikiatri/psikolog, pekerja sosial.


11. Berikan obat-obatan sesuai petunjuk, misalnya antiansietas dan obat-obatan peningkat alam perasaan.
1. Memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut/kesalahan konsep dan mampu menghadapi masalah secara langsung.

2. Mengidentifikasi bagaimana penyakit mempengaruhi persepsi diri dan interaksi dengan orang lain akan menentukan kebutuhan terhadap intervensi/konseling lebih lanjut.


3. Isyarat verbal/nonverbal orang terdekat dapat mempengaruhi bagaimana klien memandang dirinya sendiri.

4. Nyeri konstan akan melelahkan, perasaan marah, dan bermusuhan umum terjadi.

5. Dapat menunjukkan emosional atau metode koping maladaptive, membutuhkan intervensi lebih lanjut/dukungan psikologis.

6. Membantu klien untuk mempertahankan kontrol diri, yang dapat meningkatkan perasaan harga diri.



7. Meningkatkan perasaan kompetensi/harga diri, mendorong kemandirian, dan mendorong partisipasi dalam terapi.

8. Mempertahankan penampilan yang dapat meningkatkan citra diri.

9. Memungkinkan klien untuk merasa senang terhadap dirinya sendiri. Menguatkan perilaku positif, dan meningkatkan rasa percaya diri.

10. Klien/orang terdekat mungkin membutuhkan dukungan selama berhadapan dengan proses jangka panjang/ketidakmampuan.

11. Mungkin dibutuhkan pada saat munculnya depresi hebat sampai klien mampu mengembangkan kemampuan koping yang lebih efektif.

Diagnosis Keperawatan: Kurang perawatan diri (uraikan) berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal, penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri saat bergerak atau depresi.
Tindakan Rasional
Mandiri
1. Diskusikan dengan klien tingkat fungsional umum sebelum timbulnya/eksaserbasi penyakit dan risiko perubahan yang diantisipasi.

2. Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri, dan program latihan.

3. Kaji hambatan klien dalam partisipasi perawatan diri. Identifikasi/buat rencana untuk modifikasi lingkungan.

Kolaborasi
4. Konsultasi dengan ahli terapi okupasi.






5. Mengatur evaluasi kesehatan di rumah sebelum dan setelah pemulangan.





6. Membuat jadwal konsul dengan lembaga lainnya, misalnya pelayanan perawatan di rumah, ahli nutrisi.
1. Klien mungkin dapat melanjutkan aktivitas umum dengan melakukan adaptasi yang diperlukan pada keterbatasan saat ini.

2. Mendukung kemandirian fisik emosional klien.

3. Menyiapkan klien untuk meningkatkan kemandirian, yang akan meningkatkan harga diri.


4. Berguna dalam menentukan alat bantu untuk memenuhi kebutuhan individual. Misalnya memasang kancing, menggunakan alat bantu, memakai sepatau, atau menggantungkan pegangan untuk mandi pancuran.

5. Mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi karena tingkat ketidakmampuan aktual. Memberikan lebih banyak keberhasilan usaha tim dengan orang lain yang ikut serta dalam perawatan, misalnya tim terapi okupasi.

6. Klien mungkin membutuhkan berbagai bantuan tambahan untuk partisipasi situasi di rumah.

Diagnosis Keperawatan: risiko tinggi kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan rumah berhubungan proses penyakit degeneratif jangka panjang, sistem pendukung tidak adekuat.
Tindakan Rasional
Mandiri
1. Kaji tingkat fungsional fisik klien.



2. Evaluasi lingkungan sekitar untuk mengkaji kemampuan klien dalam melakukan perawatan diri sendiri.

3. Tentukan sumber-sumber finansial untuk memenuhi kebutuhan situasi individual. Identifikasi sistem pendukung yang tersedia untuk klien, misalnya membagi perbaikan/tugas-tugas rumah tangga antara anggota keluarga atau pelayanan.

4. Identifikasi peralatan yang diperlukan untuk mendukung aktivitas klien, misalnya peninggian dudukan toilet, kursi roda.

Kolaborasi
5. Koordinasikan evaluasi di rumah dengan ahli terapi okupasi.



6. Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya pelayanan pembantu rumah tangga, pelayanan sosial (bila ada).
1. Mengidentifikasi tingkat bantuan/dukungan yang diperlukan klien.

2. Menentukan kemungkinan susunan yang ada/perubahan susunan rumah untuk memenuhi kebutuhan klien.

3. Menjamin bahwa kebutuhan klien akan dipenuhi secara terus-menerus.





4. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan peralatan sebelum pulang untuk menunjang aktivitas klien di rumah.


5. Bermanfaat untuk mengidentifikasi peralatan, cara-cara untuk mengubah berbagai tugas dalam mempertahankan kemandirin.

6. Memberikan kemudahan berpindah pada/mendukung kontinuitas dalam situasi di rumah.


Diagnosis Keperawatan: Kurang pengetahuan/kebutuhan belajar mengenai penyakit, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.

Tindakan Rasional
Mandiri
1. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan.


2. Diskusikan kebiasaan klien dalam penatalaksanaan proses sakit melalui diet, obat-obatan, serta program diet seimbang, latihan, dan istirahat.

3. Bantu klien dalam merencanakan jadwal aktivitas terintegrasi yang realistis, periode istirahat, perawatan diri, pemberian obat-obatan, terapi fisik, dan manajemen stress.

4. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakoterapeutik.




5. Rekomendasikan penggunaan aspirin bersalut/dibuper enterik atau salisilat nonasetil, misalnya kolin salisilat (anthropan) atau kolin magnesium trisalisilat (trilisate).

6. Anjurkan klien untuk mencerna obat-obatan dengan makanan, susu atau antasida.


7. Identifikasi efek samping obat-obatan yang merugikan, misalnya tinnitus, intoleransi lambung, perdarahan gastrointestinal, dan ruan purpurik.




8. Tekankan pentingnya membaca label produk dan mengurangi penggunaan obat yang dijual bebas tanpa persetujuan dokter.

9. Tinjau pentingnya diet yang seimbang dengan makanan yang banyak mengandung vitamin, protein, dan zat besi.

10. Dorong klien yang obesitas untuk menurunkan berat badan dan berikan informasi penurunan berat badan sesuai kebutuhan.

11. Berikan informasi mengenai alat bantu, misalnya bermain barang-barang yang bergerak, tongkat untuk mengambil, piring-piring ringan, tempat duduk toilet yang dapat dinaikkan, palang keamanan.

12. Diskusikan teknik menghemat energy, misalnya duduk lebih baik daripada berdiri dalam menyiapkan makanan dan mandi.

13. Dorong klien untuk mempertahankan posisi tubuh yang benar, baik saat istirahat maupun saat beraktivitas, misalnya menjaga sendi tetap meregang, tidak fleksi.

14. Tinjau perlunya inspeksi sering pada kulit dan lakukan perawatan kulit lainnya di bawah bebat, gips, alat penyokong. Tunjukkan pemberian bantalan yang tepat.

15. Diskusikan pentingnya obat-obatan lanjutan/pemeriksaan laboratorium, misalnya LED, kadar salisilat, PT.







16. Berikan konseling seksual sesuai kebutuhan.




17. Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya yayasan arthritis (bila ada).
1. Memberikan pengetahuan di mana klien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi yang disampaikan.

2. Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi sendi/jaringan lain guna mempertahankan fungsi sendi dan mencegah deformitas.

3. Memberikan struktur dan mengurangi ansietas pada waktu menangani proses penyakit kronis yang kompleks.



4. Keuntungan dari terapi obat-obatan tergantung ketepatan dosis, misalnya aspirin harus diberikan secara regular untuk mendukung kadar terapeutik darah 18 – 25 mg.

5. Preparat bersalut/dibufer dicerna dengan makanan, meminimalkan iritasi gaster, mengurangi risiko perdarahan. Produk nonasetil sedikit dibutuhkan untuk mengurangi iritasi lambung.

6. Membatasi iritasi gaster. Pengurangan nyeri akan meningkatkan kualitas tidur dan meningkatkan kadar darah serta mengurangi kekakuan di pagi hari.

7. Memperpanjang dan memaksimalkan dosis aspirin dapat mengakibatkan takar lajak (overdosis). Tinitus umumnya mengindikasikan kadar terapeutik darah yang tinggi. Jika terjadi tinnitus, dosis umumnya diturunkan menjadi satu tablet setiap tiga hari sampai berhenti.

8. Banyak produk mengandung salisilat tersembunyi (misalnya obat diare, pilek) yang dapat meningkatkan risiko overdosis obat/efek samping yang berbahaya.
9. Meningkatkan perasaan sehat umum dan perbaikan/regenerasi sel.



10. Penurunan berat badan akan mengurangi tekanan pada sendi, terutama pinggul, lutut, pergelangan kaki, da telapak kaki.

11. Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan memungkinkan individu untuk ikut serta secara lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan.

12. Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan diri, dan kemandirian.


13. Mekanika tubuh yang baik harus menjadi bagian dari gaya hidup klien untuk mengurangi tekanan sendi dan nyeri.



14. Mengurangi risiko iritasi/kerusakan kulit.





15. Terapi obat-obatan membutuhkan pengkajian/perbaikan yang terus-menerus untuk menjamin efek optimal dan mencegah overdosis, serta efek samping yang berbahaya, misalnya aspirin memperpanjang PT, peningkatan risiko perdarahan. Krisoterapi aka menekan trombosit, potensi risiko untuk trombositopenia.

16. Informasi mengenai posisi-posisi yang berbeda dan teknik dan/atau pilihan lain untuk pemenuhan seksual mungkin dapat meningkatkan hubungan pribadi dan perasaan harga diri/percaya diri.

17. Bantuan/dukungan dari orang lain dapat meningkatkan pemulihan maksimal.

Nyeri

NYERI
A.Definisi
Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin
J.E. ).
Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk). Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri. (Taylor C. dkk)
Ganong, (1998), mengemukakan proses penghantaran transmisi nyeri yang disalurkan ke susunan syaraf pusat oleh 2 (dua) sistem
serat (serabut) antara lain:
(1).Serabut A – delta (Aδ) Bermielin dengan garis tengah 2 – 5 (m yang menghantar dengan kecepatan 12 – 30 m/detik yang disebut juga nyeri cepat (test pain) dan dirasakan dalam waktu kurang dari satu detik, serta memiliki lokalisasi yang dijelas dirasakan seperti ditusuk, tajam berada dekat permukaan kulit.
(2).Serabut C, merupakan serabut yang tidak bermielin dengan garis tengah 0,4 –1,2 m/detik disebut juga nyeri lambat di rasakan
selama 1 (satu) detik atau lebih, bersifat nyeri tumpul, berdenyut atau terbakar.
Transmisi nyeri dibawah oleh serabut A – delta maupun serabut C diteruskan ke korda spinalis, serabut – serabut syaraf aferen masuk kedalam spinal lewat dorsal “root” dan sinap dorsal “ horn” yang terdiri dari lapisan (laminae) yang saling berkaitan II dan III membentuk daerah substansia gelatinosa (SG). Substansi P sebagai nurotransmitter utama dari impuls nyeri dilepas oleh sinaps dari substansia gelatinosa. Impuls – impuls nyeri menyebrang sum – sum tulang belakang diteruskan ke jalur spinalis asendens yang utama adalah spinothalamic traet (STT) atau spinothalamus dan spinoroticuler traet (SRT) yang menunjukkan sistem diskriminatif dan membawa informasi mengenai sital dan lokasi dari stimulus ke talamus kemudian kemudian diteruskan ke korteks untuk diinterprestasikan, sedangkan impuls yangg melewati SRT, diteruskan ke batang otak mengaktifkan respon outonomik dari limbik (motivational affektive) effective yang dimotivasi (Long).
Pada tahun 1979, International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai : Suatu pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan. Rasa nyeri selalu merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Setiap individu mempelajari nyeri melalui pengalaman yang berhubungan langsung dengan luka (injury), yang terjadi pada masa awal kehidupannya. Secara klinis, nyeri adalah apapun yang diungkapkan oleh pasien mengonai sesuatu yang dirasakannya sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan / sangat mengganggu (Dharmady & Triyanto).
Defenisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya. Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentiftkasi. Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karna itu, mengkaji nyeri individu mencakup pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dan juga faktor mental atau emosional yang mempengaruhi persepsi individu tentang nyeri. Intervensi keperawatan diarahkan pada kedua komponen tersebut (Smeltzer & Bare).
Beberapa pasien tidak dapat atau tidak akan melaporkan secara verbal bahwa mereka mengalami nyeri. Oleh karena itu, perawat juga
bertanggung jawab terhadap pengamatan perilaku nonverbal yang dapat terjadi bersama dengan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
B.Fisiologi Nyeri
Diantara terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga timbulnya pengalaman subyektif mengenai nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transrmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik pada ujung saraf sensorik (reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex. Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah diternukan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat analgetika seperti morfin (Dewanto). Proses terakhir adalah persepsi, Proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur otak yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif sehingga tidak terhindarkan keterbatasan untuk memahaminya (Dewanto). Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di dacrah yang terluka (Taylor & Le Mone).
Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris dengan menggaruk secara perlahan di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya perasaan sernbuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Patricia & Walker).
Kozier, dkk. (1995) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat (Black M.J, dkk)
Pada nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman yang mempengaruhi manusia sebagai sistem terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang mengancam dan menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus nyeri dari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem hipotalamus pituitary dan adrenal dengan mekanisme medula adrenal hipofise untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi kehidupan sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan dan mekanisme kortek adrenal hopfise untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan energi kondisi emergency untuk mempercepat penyembuhan (Long C.B.). Apabila mekanisme ini tidak berhasil mengatasi Stressor (nyeri) dapat menimbulkan respon stress seperti turunnya sistem imun pada peradangan dan menghambat penyembuhan dan kalau makin parah dapat terjadi syok ataupun perilaku yang meladaptif (Corwin, J.E.).
C.Klasifikasi Nyeri
Menurut Long C.B (1996) mengklasifikasi nyeri berdasarkan jenisnya, meliputi :
(1).Nyeri akut, nyeri yang berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan mendadak dari sebab yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi nyeri. (2).Nyeri kronis, nyeri yang berlangsung enam bulan atau lebih, sumber nyeri tidak diketahui dan tidak bisa ditentukan lokasinya. Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu nyeri menetap.
Corwin J.E (1997) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan sumbernya meliputi :
(1) Nyeri kulit, adalah nyeri yang dirasakan dikulit atau jaringan subkutis, misalnya nyeri ketika tertusuk jarum atau lutut lecet,
lokalisasi nyeri jelas disuatu dermatum.
(2) Nyeri somatik adalah nyeri dalam yang berasal dari tulang dan sendi, tendon, otot rangka, pembuluh darah dan tekanan syaraf
dalam, sifat nyeri lambat.

(3) Nyeri Viseral, adalah nyeri dirongga abdomen atau torak terlokalisasi jelas disuatu titik tapi bisa dirujuk kebagian-bagian tubuh

lain dan biasanya parah.
(4) Nyeri Psikogenik, adalah nyeri yang timbul dari pikiran pasien tanpa diketahui adanya temuan pada fisik (Long, 1989 ; 229). (5) Nyeri Phantom limb pain, adalah nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu ekstremitas yang telah diamputasi (Long, 1996 ; 229).
D.Nyeri Pasca Bedah
Pembedahan merupakan suatu kekerasan atau trauma bagi penderita. Anestesi maupun tindakan pembedahan menyebabkan kelainan yang dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala yang sering dikemukakan adalah nyeri, demam, takikardia, sesak nafas, mual, muntah dan memburuknya keadaan umum (Syamsuhidajat).
Para dokter dalam pengalamannya sering kali terkejut akan beratnya nyeri yang dialami oleh pasien setelah pembedahan. Kendati pun tersedia obat-obat yang efektif, namun nyeri pasca bedah tidak dapat diatasi dengan baik. Sekitar 50% pasien tetap mengalami nyeri (Walsh).
Menurut Benedetti (1990), nyeri yang hebat menstimulasi reaksi stress yang secara merugikan mempengaruhi sistem jantung dan imun. Ketika impuls nyeri ditransmisikan, tegangan otot meningkat, seperti halnya pada vasokonstriksi lokal. Iskemia pada tempat yang sakit rnenyebabkan stimulasi lebih jauh dari reseptor nyeri. Bila impuls yang menyakitkan ini menjalar secara sentral, aktivitas simpatis diperberat, yang meningkatkan kebutuhan miokardium dan konsumsi oksigen. Penelitian telah menunjukkan bahwa insufisiensi kardiovaskular terjadi tiga kali lebih sering dan insiden infeksi lima kali lebih besar pada individu dcngan kontrol nyeri yang buruk (Smeltzcr & Bare).
Pada luka operasi, analgetik sebaiknya diberikan dengan rencana sesuai dengan letak dan sifat luka, bukan “diberikan kalau perlu”.
Dosis yang diberikan pun bergantung pada reaksi penderita (Sjamsuhidajat).
Peredaan nyeri komplit pada daerah dari insisi bedah dapat tidak terjadi selama beberapa minggu, tergantung pada letak dan sifat pembedahan. Namun demikian, perubahan posisi pasien, penggunaan distraksi, pemasangan washcloths dingin pada wajah, dan pemijatan punggung dengan losion yang menyegarkan dapat sangat membantu dalam menghilangkan ketidaknyamanan temporer dan meningkatkan medikasi lebih efektif ketika diberikan (Smeltzer & Bare).
E.Bedah Laparatomi
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen (Spencer), Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (1997), bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi yaitu: herniotorni, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, splenorafi/splenotomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dan fistulotomi atau fistulektomi.
Tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatorni adalah berbagai jenis operasi uterus, operasi pada tuba fallopi dan operasi ovarium (Prawirohardjo), yaitu: histerektomi baik itu histerektoini total, histerektomi sub total, histerektomi radikal, eksenterasi pelvic dan salpingo -coforektomi bilateral.
Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi pada bedah digestif dan kandungan, teknik ini juga sering dilakukan pada
pembedahan organ lain, menurut Spencer (1994) antara lain ginjal dan kandung kemih.
Ada 4 (empat) cara, yaitu :
a.Midline incision
2,5
cm),
panjang
(12,5
cm).±b.Paramedian,
yaitu
;
sedikit
ke
tepi
dari
garis
tengah
(
c.Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy. (Sjamsuhidajat R, Jong WD)±d.Transverse lower abdomen
incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah
1. Indikasi
a.Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur Hepar.
b.Peritonitis
c.Perdarahan saluran pencernaan.(Internal Blooding)
d.Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
e.Masa pada abdomen (Sjamsuhidajat R, Jong WD, 1997)
2. Komplikasi
a.Ventilasi paru tidak adekuat
b.Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung.
c.Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
d.Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
3.Post Laparatomi
a.Perawatan post Laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi
pembedahan perut. (Long B.C, 1996)
b.Tujuan perawatan post Laparatomi
(1)Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
(2)Mempercepat penyembuhan.
(3)Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
(4)Mempertahankan konsep diri pasien.
(5)Mempersiapkan pasien pulang.
c.Komplikasi post Laparatomi (Himawan, S, 1996)
(1)Tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas
dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba
ambulatif.
(2)Infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus
aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan.
Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
(3)Dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor
penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding
abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
d.Proses penyembuhan luka (Long B.C, 1996)
(1)Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana
serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.
(2)Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru
tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
(3)Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.

(4)Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
e.Intervensi untuk meningkatkan penyembuhan
(1)Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin c.
(2)Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
(3)Pencegahan infeksi.
f.Pengembalian Fungsi fisik.
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk efektf, latihan mobilisasi dini.
Latihan-latihan fisik : Latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong, Latihan alih
baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.
F.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri, sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat menahan nyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone & Burke).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:
1. Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mencrima peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan
peningkatan
nyeri
dan
pengobatannva
tidak
adekuat
(Smeltzer
&
Bare). Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak menyadari seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti. Umumnya, orang yang sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadinya nyeri yang lebih hebat (Taylor & Le Mone).
2. Kecemasan
Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi, beragam diantara individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan, kecemasan, ketakutan akan kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi sosial, perubahan dalarn identitas peran,
kehilangan
kemandirian
dan
pengalarnan
masa
lalu
(Smeltzer
&
Bare). Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone). Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri (Smeltzer & Bare).
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke).
Jadi, sistem analgetika ini dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke medulla spinalis (Guyton).δSerotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus rafe magnus dan lokus seruleus. Ia berperan dalam sistem analgetik otak. Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis mensekresi enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan presinaptik dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor- faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bµ,re,).
3. Umur
Umur dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau ada sejak dilahirkan (Poerwadarminta). Menurut Ramadhan (2001), umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone & Burke)
Menurut Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Smeltzer & Bare).
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung mengabaikan lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian tentang nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda ketimbang didasarkan pada usia (Smeltzer & Bare).
4. Jenis Kelamin
Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan yang telah dikodratkan Tuhan, olch sebab itu, bersifat permanen. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak sekadar bersifat biologis, akan tetapi juga dalam aspek sosial kultural. Perbedaan secara sosial kultural antara laki-laki dan perempuan merupakan dampak dari sebuah proses yang membentuk berbagai karakter sifat gender. Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna pembentukan, sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik secara sosial kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar & Anshari)

Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelarnin (Noor).

Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dapat belajar dengan cepat untuk mengabaikan nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk rnemperoeh perhatian dan pelayanan dari anggota keluarga. Anak-anak mungkin belajar bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyeri. Anak perempuan boleh pulang ke rumah sambil menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu untuk berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa mungkin berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan dengan komunikasi nyeri (Taylor & Le Mone).
Dalam banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang dominan. Dalam budaya yang menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota keluarga lain seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana laki-laki merupakan figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam keluarga Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone).
Pengetahuan tentang anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai bahan pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga dominan yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan menjadi cemas dan bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang sakit, maka ia akan meminta pertolongan secara verbal (Taylor & Le Mone).
Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri pada wanita dan mengusulkan implikasi untuk praktik klinik. Meskipun penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le Mone).
5.
Sosial Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan nilai keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi individu terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor & Le Mane).
Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer & Bare).
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare).
6.
Nilai AgamaPada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman
ini membantu individu menghadapi nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan mengurangi persembahan mereka (Taylor & Le Mane).
7.
Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat
Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan yang asing, khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama di ruang perawatan intensif, dapat menambah nyeri yang dirasakan.
Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga
yang lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk rnemperoleh
perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le Mone).
G. Prinsip Pengelolaan Nyeri Pascabedah
1. Mencegah atau meminimalkan terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral
2. Sensitisasi perifer dapat ditekan dengan: anastesi local dan NSAIDs (COX1 atau COX2)
3. Sensitisasi sentral dapat ditekan dengan: Opioid (morfin, petidin, fentanil) dan m agonist (tramadol)
4. Kombinasi keduanya (balans analgesia) : NSAIDs + opioid à synergism
Tindakan
Nonfarmakologis. Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu, banyak aktivitas kaperawatan nonfarmakologis yang dapat membantu dalam menghilangkan nyeri. Meskipun asda beberapa lapran anekdot mengenai ketidakefektifan tindakan-tindakan ini, sedikiy diantaranya yang belum dievaluasi melalui penelitian riset yang sistematik. Metode pereda nyeri nonfarmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin dipelukan atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit. Dalam hal ini, terutama saat nyeri hebat yang berlangsung berjam-jam atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik nonfarmakologis dengan o bat-obatan mungkin cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri.
Stimulasi dan Masase Kutanus.
Terori gate control nyeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bertujuan menstimulasi serabut-serabut yamg menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi, impuls nyeri. Beberapa strategi penghilan nyeri nonfarmakologis. Termasuk menggosok kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan mekanisme ini.
Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
Terapi Es dan Panas.
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan studi lebih lanjut. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-noniseptor) dalam reseptor yang sama seperti pada cedera.
Terapi es dapat memnurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain [ada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi. Cohn dkk. (1989) menunjukkan bahwa saat es diletakkan disekitar lutut segara setelah pembedahan dan selama 4 hari pasca operasi, kebutuhan anlgesik menurun sekitar 50%.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Namun demikian, menggunaka panas kering dengan lampu pemanas tampak tidak seefektif penggunaan es (Nam & Park, 1991). Baik terapi panas kering dan lembab kemungkinan memberi analgesia tetapi penelitian tambahan diperlukan untuk memehami mekanisme kerjanya dan indikasi penggunaannya yang sesuai. Baik terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.
Stimulasi Saraf Elektris Transkutan
Stimulasi saraf transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan , menggetar atau menegung pada area nyeri. TENS telah digunakan baik pada nyeri akaut dan kronik. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut yang menstrasmisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori nyeri gate control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asendens saraf pusat. Mekanisme ini akan menguraikan keefekitan stimulasi kutan saat digunakan pada araea yang asama seperti pada cedera. Sebagai contoh, saat TENS digunakan apda pasien pasca operatif

elektroda diletekkan disekitar luka bedah. Penjelasan lain untuk keefektifan TENS adalah efek placebo (pasien mengharapkannya
agar efektif) dan pembentukan endorphin, yamhjuga memblok transmisi nyeri.
Riset telah menuinjukkan bahwa pasien yang telah menerima pengobatan TENS (placebo) yang nyat atau pura-pura selain perawatan standar, akan melaporkan jumlah pereda nyerimyang sama lebih bnesar efeknya daripada pereda nyeri yang diperoleh dengan pengobatan standar saj (Conn dkk.). Beberapa pasien, terutama pasien dengan nyeri kronis, akan melaporkan penurunan nyeri sebanyak 50% dengan menggunakan TENS. Pasien-pasien lainnya tidak merasakan manfaatnya. Pasien mama yang dapat ditolong tidak dapat diprediksai. Bila pasien bener-bener mengalami peredaan nyeri, peredan ini biasanya brawitan cepat terapi engan cepat berkurang saat stimulator dimatikan.
Distraksi.
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selai pada nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertnggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz dkk., 1991; Devine dkk., 1990). Sesorang, yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan mensyimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum meningkat dalam hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang dipakai dan minat individu dalam stimuli. Karenanya, stimuli penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan efektif dalam menurunkan nyeri disbanding stimuli satu indera saja.
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan aktivitas fisik an mental yang sangat kompleks. Kunjungan dari kelarga dan teman-teman sangat efektif dalam meredakan nyeri. Melihat filmlayar lebar dengan ”surround sound” melalui headphone dapat efektif (berikan yang dapat diterima oleh pasien). Orang lainnya mungkin akan mendapat peredaan permainan dan aktivitas (mis., catur) yang membutuhkan konsentrasi. Tidak semua pasien mencapai peredaan melalui distraksi, terutama mereka yang dalam nyeri hebat, pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas fisik atau mental yang kompleks.
Seseorang yang tidak mendapat manfaat dari distraksi harus dipikirkan. Pasien yang menggunakan pompa ADP, selama waktu distraksi efekatif mungkun tidak menggunkan analgesia apapun. Tekinik distraksi biasanya berakhir mendadak (y.i., aktivitasnya berakhir atau film yang ditonton berakhir) dan pasien dibiarkan dalam kadar opioid subtrapeutik dalam serum. Bila distrksi intermiten digunakan untuk meredakan nyeri, input opioid kadar dasar melelui pompa ADP mungkin diresepkan, sehingga ketika distraksi berakhir, tidak akan diperlukan untuk melakukan pengejaran kadar dalam serum.
Teknik Relaksasi.
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen, 1993; Altmaier dkk. 1992). Beberapa penelitian, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa relaksasi ecektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Lorenti, 1991; Miller & Perry, 1990). Ini mungkin karena relatif kecilnya otot-otot skeletal dalam nyeri pasca operatif atau kebutuhan pasien untuk melakukan teknik relaksasi tersebut agar efektif. Teknik tersebut tidak mungkin dipraktekkan jika hanya diajarkan sekali, segera sebelum operasi. Pasien yang sudah mengetahui tentang teknik relaksasi mungkin hanya diingatkan untuk menggunakan teknik tersebut untuk menurunkan atau mencegah menigkatnya yeri
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat diprtahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (” hirup, dua, tiga ”) dan ekhalasi ( hembusakn, dua, tiga ). Pada saat perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien oada awalanya. Napas yang lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik distraksi. Teknik relaksasi, juga tindakan pereda nyeri noninvasif lainnya, mungkin memerlukan latihan sebelum pasien menjadi terampil menggunkannya.
Hampir semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode-metode relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat
membantu untuk melawan keletihan dan ketegagan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.
Imajinasi Terbimbing.
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan suatu napas berirama lambat denfgan suatu bayangan mental relaksiasi dan kenyamanan. Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa setiap napas yang diekhalasi secara lambat ketegangan otot dan ketidak nyaman dikeluarkan, menyebakan tubuh yang rileks dan nyaman. Setip kali menghirup napas, pasien harus membayangkan energi penyembuh dialairkan ke bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas di hembuskan, pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan.
Jika imajinasi terpadu diharapkan agar efektif, doibutuhkan waktu yang banyak untuk menjelaskan tekniknya dan waktu untuk pasien mempraktekkannya. Biasanya, pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Bebrapa hari praktik mungkin dierlukan sebelum intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jan setelah imajinasi digunakan. Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada beberapa orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini efektif.
Hipnosis.
Hipnosis efktif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam memberikan peredaan pada nyeri terutama dalam situasi sulit ( mis., lika bakar ). Mekanisme bagaimana kerjanya hipnosis tidak jelas tetapi tidak tampak diperantari oleh sistem endorfin. (Moret dkk.,1991). Keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik individu. Pada beberapa kasus hipnosis dapat efekatif pada pengobatan pertama; keefektifannya meningkat dengan tambahan sel hipnotik berkutnya. (Lewis,1992). Bagaimanapun pada beberapa kasus tekinik inimtidak akan bekerja. Pada kebenyakan situasi hipnosis harus dicetuskan oleh orng yang terlatih secara khusus ( seringkali seoramg psikolog atau perawat dengan pelatihan yang dikhususkan untuk hipnosis) dan dapat efektif selain pengunaan analgesik standar.
Metoda Bedah-Neuro dari Penatalaksanaan Nyeri.
Beberapa pendekatan bedah neuro tersedia dan telah digunakan secara berhasil bagi pasien yang nyerinya tidak dapat dihilangkan
atau dikontrol secara memuaskan dengan medikasi dan pendekatan nonbedah lainnya.(Smeltzer & Bare).
Sumber:
1.Black, M.J, Ester M & Jacobs. (1997). Medikal Surgical Nursing; Clinical Management For Continvity of Care. WB Saunder
Company.
Tokyo
2.Corwin,
E.J.
(1997).
Buku
Saku
Patofisiologi.
Penerbit
Buku
Kedokteran
EGC.
Jakarta.
3.ERB, Kozier, Blais & Wilkinson (1995) Fundamental Of Nursing ; Consepts, Process, And Practice II, Addison Wesley Publishing
Company.
4.Gabriel, F.J. (199
Fisika Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 5.Gibson, John (1992). Diagnosa Gejala Penyakit Untuk Perawat. Penerbit Yayasan Essentia Media Yogyakarta. 6.Howe, L.G & F.I.H Whitehead. (1992). Lokal Anaesthesia In Dentistry. Alih Bahasa Lilian Yuwono. Penerbit Hipokrates. Jakarta 7.Junaidi,
P
(Et.Al).
1997.
Kapita
Selekta
Kedokteran.
Penerbit
Media
Aesculapius
FKUI.
Jakarta
8.Lee,
M.Jenifer
(1990).
Segi
Praktis
Fisioterapi.
Binarupa
Aksara.
Jakarta 9.Long, C.B. (1996). Medikal Surgical Nursing. Alih Bahasa Oleh Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. Bandung 10.Soeparman & Sarwono W (1999). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Penerbit Balai Penerbit FKUI. Jakarta 11.Taylor, C, Carol L & Pricilla.L. (1997). Fundamental Of Nursing ; The Art and Science of Nursing. Lippicott Philadelphia.




Pengertian Tehnik Distraksi
Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien),. Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja (Tamsuri, 2007).
Jenis Tehnik Distraksi antara lain :
1) Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan dan gambar termasuk distraksi visual.
2) Distraksi pendengaran
Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki. (Tamsuri, 2007).
Musik klasik salah satunya adalah musik Mozart. Dari sekian banyak karya musik klasik, sebetulnya ciptaan milik Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) yang paling dianjurkan. Beberapa penelitian sudah membuktikan, Mengurangi tingkat ketegangan emosi atau nyeri fisik. Penelitian itu di antaranya dilakukan oleh Dr. Alfred Tomatis dan Don Campbell. Mereka mengistilahkan sebagai “Efek Mozart”.
Dibanding musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada karya-karya Mozart mampu merangsang dan memberdayakan daerah kreatif dan motivatif di otak. Yang tak kalah penting adalah kemurnian dan kesederhaan musik Mozart itu sendiri. Namun, tidak berarti karya komposer klasik lainnya tidak dapat digunakan (Andreana, 2006)
3) Distraksi pernafasan
Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.
Bernafas ritmik dan massase, instruksi kan klien untuk melakukan pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan lakukan massase pada bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau gerakan memutar di area nyeri.
4) Distraksi intelektual
Antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (di tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita.
5) Tehnik pernafasan
Seperti bermain, menyanyi, menggambar atau sembayang
6) Imajinasi terbimbing
Adalah kegiatan klien membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari dari perhatian terhadap nyeri
http://qittun.blogspot.com/2008/10/tehnik-distraksi.html
Distraksi dan relaksasi merupakan metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian pasien pada sesuatu selain nyeri. Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial.
Hasil penelitian didapatkan intensitas nyeri awal kelompok kontrol hampir seluruh responden yaitu 5 responden (83,33%) tingkat nyerinya berat, kelompok distraksi sebagian besar yaitu 4 responden (66,67%) mengalami tingkat nyeri berat, kelompok relaksasi sebagian besar yaitu 4 responden (66,67%) mengalami tingkat nyeri berat. Intensitas nyeri akhir pada kelompok kontrol sebagian besar responden yaitu 4 responden (66,67%) tingkat nyeri berat, pada kelompok distraksi hampir seluruh responden yaitu 5 responden (83,33%) mengalami nyeri sedang, kelompok relaksasi hampir seluruh responden yaitu 5 responden (83,33%) mengalami nyeri sedang. Hasil analisa menunjukkan ada pengaruh yang signifikan penerapan metode distraksi dan relaksasi terhadap penurunan tingkat nyeri.
http://www.poltekkes-soepraoen.ac.id/?prm=artikel&var=detail&id=27












Tabel1 Klasifikasi Analgesik
Analgesik opioid • Obat analgesik opioid : morfin, metadon, meperidin (petidin), fentanil, buprenorfin, dezosin, butorfanol, nalbufin, nalorfin, dan pentazosin.1
• Mengurangi nyeri dan menimbulkan euforia dengan berikatan pada reseptor opioid di otak, yaitu reseptor µ (mu), κ (kappa), dan δ (delta).1
NSAID /(OAINS) • Dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non salisilat.2
• Menghambat enzim sikloogsigenase dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya.2
1. Analgesik opioid
a. Farmakodinamik
Efek analgesik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor µ.3 Reseptor κ dan δ dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Ketiga jenis reseptor utama itu banyak didapatkan baik pada saraf yang mentranmisi nyeri di medula spinalis maupun pada aferen primer yang merelai nyeri. Agonis opioid melalui reseptor µ , κ dan δ pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi penglepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medula spinalis. Dengan demikian opioid memilki efek analgesik yang kuat melalui pengaruh pada medula spinalis. Selain itu, agonis µ juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor µ di otak. 3
Pemberian agonis opioid ke medula spinalis akan menimbulkan analgesia setempat, sedangkan efek samping sistemik karena pengaruh supraspinal minimal. Penglepasan opioid endogen ikut berperan dalam menimbulkan analgesia oleh pemberian opioid. Meskipun agonis opioid terutama bekerja pada reseptor µ, akan tetapi selanjutnya hal ini menyebabkan terjadinya penglepasan opioid endogen yang bekerja pada reseptor κ dan δ. Efek analgesik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran; bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu; pasien sering mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderiata lagi. Berbeda dengan salisilat, morfin dapat mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang berasal dari integumen, otot dan sendi.
a. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorsi melalui kulit luka. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam hasil ekskresi. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Tabel 2 Daftar Obat Analgesik Opioid
Nama obat Efek analgesik Cara pemberian dan Durasi kerja Indikasi
Morfin Mengurangi persepsi nyeri di otak (meningkatkan ambang nyeri), mengurangi respon psikologis terhadap nyeri (menimbulkan euforia), dan menyebabkan mengantuk/tidur (efek sedatif) walau ada nyeri. Diberikan secara per oral, injeksi im, iv, sc, dan per rektal, durasinya rata-rata 4-6 jam. Diindikasikan untuk nyeri berat yang tak bisa dikurangi dengan analgesik non-opioid atau obat analgesik opioid lain yang lebih lemah efeknya.
Metadon Mempunyai efek analgesik mirip morfin, tetapi tidak begitu menimbulkan efek sedatif. Dieliminasi dari tubuh lebih lambat dari morfin (waktu paruhnya 25 jam) dan gejala withdrawal-nya tak sehebat morfin, tetapi terjadi dalam jangka waktu lebih lama. Diberikan secara per oral, injeksi IM, dan SC Diindikasikan untuk analgesik pada nyeri hebat, dan juga digunakan untuk mengobati keterganungan heroin.
Meperidin (petidin) Menimbulkan efek analgesik, efek euforia, efek sedatif, efek depresi nafas dan efek samping lain seperti morfin, kecuali konstipasi. Efek analgesiknya muncul lebih cepat daripada morfin, tetapi durasi kerjanya lebih singkat, hanya 2-4 jam. Diindikasikan untuk obat praoperatif pada waktu anestesi dan untuk analgesik pada persalinan.
Fentanil Merupakan opioid sintetik, dengan efek analgesik 80x lebih kuat dari morfin, tetapi depresi nafas lebih jarang terjadi. Diberikan secara injeksi IV, dengan waktu paruh hanya 4 jam dan dapat digunakan sebagai obat praoperatif saat anestesi.
Tabel 3 Beberapa Antagonis Untuk Opioid
Nama obat Keterangan
Nalokson Hanya diberikan secara injeksi IV, onsetnya cepat, dengan durasi kerja 1-4 jam.
Naltrekson Diberikan per oral, lebih kuat dari nalokson dan durasinya lebih lama.
Nalmefen Aktivitas farmakologis yang sama dengan naltrekson, tetapi mempunyai durasi yang lebih lama.
1. Analgesik non-opioid atau NSAID/OAINS
Obat AINS dikelompokkan sebagai berikut:
• Derivat asam salisilat, misalnya aspirin
• Derivat paraaminofenol, misalnya parasetamol
• Derivat asam propionat, misalnya ibuprofen, ketoprofen, naproksen.
• Derivat asam fenamat, misalnya asam mefenamat
• Derivat asam fenilasetat, misalnya diklofenak.
• Derivat asam asetat indol, misalnya indometasin.
• Derivat pirazolon, misalnya fenilbutazon dan oksifenbutazon
• Derivat oksikam, misalnya piroksikam dan meloksikam.
Secara farmakologis praktis OAINS dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan OAINS non salisilat ternmasuk derivat as. Arylalkanoat . Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya. Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek analgesiknya telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4 minggu 2.
Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam). Penampilan farmakokinetik golongan asam anthranilat (fenamat dan glafenin) umumnya mirip dengan derivat asma arylasetat. Efek samping umum OAINS 4 ialah;
• Gangguan saluran cerna, Oleh karena itu umumnya OAINS diberikan pada saat sedang makan atau sesudah makan agar dapat ditolerir
• Nefrotoksisitas, acute interstitial nephritis dengan atau tanpa nephrotic syndrome, functional renal fairule, acute renal fairule, analgesic nephropathy, chronic interstitial disease
• Perubahan kesetimbangan air dan elektrolit, yaitu retensi air dan natrium disertai dengan hiperkalemia.
Nama obat Keterangan
Aspirin (asam asetilsalisilat atau asetosal) • Mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan antinflamasi.
• Efek samping utama : perpanjangan masa perdarahan, hepatotoksik (dosis besar) dan iritasi lambung. Diindikasikan pada demam, nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri otot dan sendi (artritis rematoid). Aspirin juga digunakan untuk pencegahan terjadinya trombus (bekuan darah) pada pembuluh darah koroner janung dan pembuluh darah otak
Asetaminofen (parasetamol) • Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah.
• Parasetamol mempunyai efek analgesik dan anipiretik, tetapi kemampuan antinflamasinya sangat lemah.
• Intoksikasi akut parasetamol adalah N-asetilsistein, yang harus diberikan dalam 24 jam sejak intake parasetamol.
Ibuprofen • Mempunyai efek analgesik, anipiretik, dan antinflamasi, namun efek antinflamasinya memerlukan dosis lebih besar.
• Efek sampingnya ringan, seperti sakit kepala dan iritasi lambung ringan.
Asam mefenamat Mempunyai efek analgesik dan antinflamasi, tetapi tidak memberikan efek anipiretik.
Diklofenak Diberikan untuk antinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi simtomatik jangka panjang untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.
Indometasin Mempunyai efek anipiretik, antinflamasi dan analgesik sebanding dengan aspirin, tetapi lebih toksik.
Fenilbutazon Hanya digunakan untuk antinflamasi dan mempunyai efek meningkatkan ekskresi asam urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada artritis gout.
Piroksikam Hanya diindikasikan untuk inflamasi sendi.
Kelompok obat gout • Pada keadaan akut : kolkisin, fenilbutazon, dan indometasin.
• Mengurangi kadar asam urat : probenesid, allopurinol dan sulfinpirazon
3. Nyeri pada Kanker
Nyeri bisa bersifat akut (kurang dari 1 bulan) dan bisa bersifat kronik (lebih dari 3-6 bulan). Pada nyeri yang kronik, tidak mempunyai efek protektif dan semakin lama semakin memperburuk penyakitnya serta fungsi dari organ-organ sekitarnya. Nyeri pada kanker biasanya bersifat kronik. Nyeri pada kanker bisa bersifat nosiseptif (langsung berhubungan dengan kerusakan organ yang bersifat tajam dan berdenyut-denyut) atau neuropatik (terbakar, kesemutan, dan hipersensitivitas pada sentuhan atau rangsang dingin) yang timbul akibat kerusakan atau disfungsi sistem saraf. Dan bisa juga bersifat kombinasi anara nosiseptif dan neuropatik.
Terdapat 2 macam analgesik untuk kanker yaitu analgesik murni yang bekerja langsung untuk menghilangkan rasa nyeri dan Ko-analgesik yang bekerja memperkuat efek obat-obat analgesik dalam upaya menghilangkan rasa nyeri pada kanker.2 Termasuk dalam analgesik murni adalah:
• Obat –obatan Non Opioid (Aspirin, Paracetamol, NSAID),
• Opioid lemah (Kodein, Dihydrocodein, Dextropropoxyfen), dan
• Opioid kuat(Morfin, Diamorfin, Fenazocin, Oxycodon, Fentanyl).
• Dosis Aspirin 500 mg tiap 4-6 jam, Paracetamol 500 mg tiap 4-6 jam, Kodein 10 mg tiap 4-6 jam, Morfin Sulfat, 10 mg tiap 4 jam, Diamorfin HCl 7,5 mg tiap 4 jam, MST Constin 30 mg tiap 12 jam.
Sedangkan obat-obat Ko-analgesik yang sering digunakan adalah:
• Kortikosteroid,
• Muscle Relaxans (Diazepam, Baclofen, Danrolen),
• Obat-obat Psikotropik (Fenotiazin, Butirofenon dan benzodiazepin, anidepresan dan Anikonvulsan), dan
• Obat-obat untuk nyeri neuropatik (anikonvulsan, karbamazepin, fenitoin, oxcarbazepin, gabapentin dan yang paling mutakhir adalah pregabalin).
• Pregabalin (Lyrica). Disamping sebagai obat antikonvulasan, indikasi utama Pregabalin adalah untuk nyeri neuropatik pada kanker. Dosis yang dianjurkan untuk Pregabalin adalah 2 x 75 mg sehari dan dosis yang bermanfaat adalah anara 150 -600 mg per hari. Sebagian besar penderita cukup optimal dengan dosis 150 mg sehari 2 kali. Khasiat dari Pregabalin dapat dilihat pada minggu -minggu pertama pemberian. Dosis Pregabali n bisa ditingkatkan mulai dari 2 x 75 mg, 2 x 150 mg, sampai dengan 2 x 300 mg selang 3 sampai 7 hari. Untuk menghentikan Pregabalin sebaiknya diturunkan pelan –pelan minimal dalam waktu 1 minggu. Obat anidepresans yang lazim dipakai adalah golongan Amitriptylin dengan dosis 25 mg.

WHO juga membuat tahap-tahap prinsip pemberian analgesik. Tahap-tahap itu disebut dengan Analgesic Staircase. 2 Prinsip pemberian analgesik yaitu By the clock (reguler setiap 4 jam), by ladder (bila ringan pakai non -opioid + adjuvan, bila tidak mempan dapat ditingkatkan dengan kombinasi opioid lemah atau opioid kuat), serta by mouth (per-oral). Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam menggunakan analgesik apabila tidak mempan setelah pemberian analgesik janganlah menggani analgesik yang potensinya sama tapi ganilah yang lebih kuat. Bila menggunakan obat-obat nonopioid (dengan atau tanpa adjuvan) nyeri tidak berkurang tambahkan obat-obat opioid analgesik lemah. Dan bila dengan opioid lemah nyeri tetap tidak berkurang sedangkan dosis yang diberikan telah maksimal segeralah menggani dengan obat golongan opioid kuat.
http://elhafiz.sangpujangga.com/archives/187
PROSES KEPERAWATAN OBAT ANALGESIK
ANALGESIK
• Analgesik adalah obat penghilang rasa sakit atau nyeri, seperti sakit kepala atau sendi.
• Analgesik ialah istilah yang digunakan untuk mewakili sekelompok obat yang digunakan sebagai penahan sakit.
• Analgesik : obat yang mengurangi/bahkan mungkin menghilangkan rasa sakit tanpa diikuti hilangnya kesadaran.


Analgesik narkotik bekerja terutama pada sistem saraf pusat.
Sedangkan analgesik non narkotik bekerja pada sistem saraf tepi pada tempat reseptor nyeri. Obat-obatan analgesik mempunyai efek antipiretik, yakni mampu menstabilkan suhu tubuh dan meredakan demam. Obat analgesik termasuk obat antiradang non-steroid (NSAID) seperti salisilat, obat narkotika seperti morfin dan obat sintesis bersifat narkotik seperti tramadol. Obat analgesik antipiretik serta obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimiawi.Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golonganini adalah Aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin ( aspirin-like drugs).

ASETAMINOFEN
Farmakodinamik :
Efek Analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat mengurangi nyeri,dari nyeri ringan sampai sedang dengan menghambat biosintesis PG tapi lemah.
Efek Antipiretik, menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat
Efek Anti Inflamasinya sangat lemah/tidak ada, tidak digunakan sebagai anti-inflamasi

Farmakokinetik :
Diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Efek iritasi , erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini.

Indikasi :
Digunakan sebagai analgesik
Digunakan sebagai antipiretik


Efek samping :
Reaksi alergi terhadap derivat Para- aminofenol jarang terjadi Toksisitas akut :
Dosis toksis yang paling serius ialah nekrosis hati
Nekrosis tubuli renalis serta koma hipoglikemik dapat terjadi Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10 - 15 gram ( 200 - 250 mg/kgBB ) Parasetamol

DIPIRON
Farmakodinamik:
• Efek analgesik
• Efek antipiretik
• Efek anti-inflamasinya lemah
• Diabsorpsi dengan baik oleh saluran cerna
• Farmakokinetik : Indikasi :
• Hanya digunakan sebagai analgesik-antipiretik
• Efek Anti-inflamasinya lemah
Efek samping :
Semua derivat Pirazolon dapat menyebabkan -agranulositosis -anemia aplastik -trombositopeni -menimbulkan hemolisis -udem, tremor, mual dan muntah, perdarahan lambung -alergi




SALISILAT DAN OBAT-OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID


FARMAKODINAMIK :
• Efek Analgesik, aspirin paling efektif untuk mengurangi nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang
• Efek Antipiretik, aspirin menurunkan suhu yang meningkat, sedangkan suhu badan normal hanya berpengaruh sedikit
• Efek Anti Inflamasi, aspirin adalah penghambat non selektif kedua isoform COX ( Cyclooxygenase ) atau ( COX-I dan COX-II )
• Efek Platelet, aspirin mempengaruhi hemostasis. Dosis rendah tunggal aspirin( 80 mg sehari ) menyebabkan sedikit perpanjangan waktu perdarahan

FARMAKOKINETIK :
Salisilat dengan cepat diserap oleh lambung dan usus kecil bagian atas. Asam salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat terutama bila digunakan sebagai obat gosok atau salep Salisilat di distribusikan keseluruh jaringan mudah menembus sawar darah otak dan sawar urin

Indikasi :
1. Sebagai obat Analgesik
2. Sebagai obat Antipiretik
3. Untuk terapi Demam reumatik akut
4. Untuk terapi Artritis reumatoid
5. Mencegah trombus koroner, dosis aspirin kecil(325mg/ha ri) yang diminum tiap hari dapat mengurangi insiden infark miokard akut
6. Sebagai counter irritant bagi kulit, bentuk salep atau lini ment

Efek samping :
Tukak lambung atau tukak peptik -perdarahan lambung -anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna -beratnya efek samping ini berbeda pada masing masing obat
Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan telinga berdenging, tuli, penglihatan kabur, bahkan kematian.

Asam mefenamat
Asam mefenamat termasuk obat pereda nyeri yang digolongkan sebagai NSAID (Non Steroidal Antiinflammatory Drugs). Asam mefenamat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis rasa nyeri, namun lebih sering diresepkan untuk mengatasi sakit gigi, nyeri otot, nyeri sendi dan sakit ketika atau menjelang haid. Seperti juga obat lain, asam mefenamat dapat menyebabkan efek samping.

Salah satu efek samping asam mefenamat yang paling menonjol adalah merangsang dan merusak lambung. Sebab itu, asam mefenamat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang mengidap gangguan lambung.
PROSES KEPERAWATAN:
NSAID PENGKAJIAN
• Periksa riwayat klien akan adanya alergi terhadap NSAID,termasuk aspirin.Jika terdapat alergi,beritahu perawat atau dokter yg bertanggungjawab.
• Kaji klien terhadap adanya rasa tidak enak pd gastrointestinal dan edema perifer, ke-2 nya merupakan efek samping yang serimg pd NSAID.
• Jika aspirin dipakai untuk dismenore selama dua hari pertama menstruasi, mungkin terjadi pendarahan yang lebih banyak.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Pantau klien akan adanya feses berwarna seperti terjadi perdarahan gusi, petekie dan ekimosis.
Waktu perdarahan dpt diperpanjang jika memakai NSAID. Periksa adanya perubahan dlm hasil laboratorium darah jika klien memakai NSAID dr kelompok pirazolon dan terapi obat emas.

Aspirin tidak boleh dipakai dan merupakan kontraindikasi bagi anakyang mengalami demam dan berusia dibawah 12 tahun, apapun sebabnya, karena adanya bahaya sindroma Reiter (problem neurologis yang berhubungan dengan infeksi virus dan diobati dengan salisilat).



PENYULUHAN PADA KLIEN
1. Penyuluhan pd klien untuk tidak memakai aspirin bersama NSAID lain,dan jika sedang memakai obat NSAID,jangan memakai aspirin.
2. Beritahu klien untuk memakai NSAID,termasuk aspirin bersama makan untuk mengurangi rasa tidak enak pd gastrointestinal.
3. Bertahu klien untuk menghindari alkohol sewaktu memakai NSAID.
4. Nasehatkan wanita untuk tidak memakai NSAID 1-2 hari sebelum menstruasi untuk menghindari banyaknya aliran darah.
5. Nasehatkan wanita dlm kehamilan trimester ke-3 untuk menghindari NSAID,jika terjadi persalinan,mungkin mengalami komplikasi perdarahan.

OBAT PIRAI
Pirai(Gout) : penyakit metabolisme familial yang dikarakterisasi oleh episode berulang artritis akut yang disebabkan oleh endapan monosodium urat pada sendi-sendi dan tulang rawan.
Tinjauan Umum : Pirai biasanya dikaitkan dengan kadar serum yang tinggi dari asam urat, zat yang sulit larut yang merupakan hasil akhir utama dari metabolisme purin.
Pengobatan pirai ditujukan pada pengurangan serangan akut dan mencegah kambuhnya episode pirai dan batu urat.

PROSES KEPERAWATAN :
OBAT2 ANTI PIRAI
Pengkajian
Dapatkan riwayat medis dr klien dengan g3. lambun.ginjal,jantung atau hati

Perencanaan
Klien akan terbebas dr neri gout tanpa mengalami efek samping
Beri tahu klien untuk melaporkan setiap keluhan pd lambung
Anjurkan klien untuk patuh pd jadwal kunjungan dokter dan melakukan pemeriksaan darah dg teratur.

Evaluasi
Evaluasi respon klien terhadap obat anti gout,jk nyeri ttp regimen obat mungkin perlu di ubah


ANALGESIK NARKOTIK
1. Analgesik narkotik, disebut juga agonis narkotik, diresepkan untuk mengatasi nyeri yang sedang sampai berat.
2. Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri tetapi juga menekan pernafasan dan batuk dengan bekerja pada pusat pernafasan dan batuk pada medulla di batang otak. Salah satu contoh dari narkotik adalah morfin, yang merupakan analgesik kuat yang dapat dengan cepat menekan pernafasan.
3. Kodein tidak sekuat morfin, tetapi dapat meredakan nyeri yang ringan sampai sedang dan menekan batuk. Kodein juga dapat diklasifikasikan ebagai penekan batuk (antitusif).

EFEK SAMPING DAN REAKSI YANG MERUGIKAN
• Tanda-tanda depresi pernafasan (pernafasan <10/>
• Hipotensi ortostatik (turunnya tekanan darah ketika bangun dari posisi duduk atau berbaring)
• takikardia
• mengantuk dan mental berkabut
• konstipasi, dan retensi urin.
• konstriksi pupil (suatu tanda intoksikasi)
• toleransi, dan ketergantungan psikologis serta fisik dapat terjadi pada penggunaan jangka panjang.

Gejala-gejala putus obat (disebut sebagai sindroma abstinensi) biasanya terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah pemakaian narkotik terakhir. Ketergantungan fisik, iritabilitas, diaforesis (berkeringat), gelisah, kedutan otot, serta meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah adalah contoh-contoh dari gejala-gejala putus obat.
KONTRAINDIKASI
Pemakaian analgesik narkotik adalah kontraindikasi bagi pasien dengan cidera kepala. Narkotik memperlambat pernafasan, sehingga mengakibatkan penumpukan CO2. Dengan bertambahnya retensi CO2, pembuluh darah berdilatasi (vasodilatasi), terutama pembuluh darah otak, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Analgesik narkotik yang diberikan kepada klien dengan gangguan pernafasan hanya akan mengakibatkan bertambah beratnya distres pernafasan. Pada penderita asma, opioid dapat merelaksasikan atau malah mengkonstriksikan saluran bronkus.

Narkotik dapat menyebabkan hipotensi dan tidak merupakan indikasi bagi klien yang syok atau mereka yang mempunyai tekanan darah yang sangat rendah. Jika diperlukan pemakaian narkotik, dosis perlu disesuaikan, kalau tidak keadaan hipotensi akan semakin memburuk. Bagi orang lanjut usia atau orang yang debil, dosis narkotik biasanya perlu dikurangi.

PROSES KEPERAWATAN ANALGESIK NARKOTIK
Pengkajian

Intervensi Keperawatan
Berikan narkotik sebelum nyeri mencapai puncaknya untuk memaksimalkan efektifitas obat.
Amati klien untuk efek samping dari narkotik, termasuk distres pernafasan (pernafasan <10/menit),>
• Pantau tanda-tanda vital dengan interval cukup sering untuk mendeteksi perubahan pernafasan. Laju pernafasan akan berubah dalam 7-8 menit setelah pemberian intravena, 30 menit setelah injeksi intramuskular, dan sekitar 90 menit setelah injeksi subkutan. Periksa laju pernafasan sebelum memberikan narkotik.
• Pantau keluaran urin klien. Narkotik dapat menyebabkan retensi urin. Keluaran urin harus sekurang-kurangnya 600 ml/hari.
• Periksa bising usus untuk mengetahui apakah terjadi penurunan peristaltik, suatu sebab dari konstipasi. Laksatif ringan atau perubahan diet mungkin diperlukan.
• Periksa klien lanjut usia terhadap efek samping dari narkotik. Dosis mungkin perlu disesuaikan. Tirali tepi tempat tidur dan tindakan pencegahan lainnya mungkin perlu dilakukan.
• Penyuluhan Kepada Klien
• Beritahu klien untuk tidak minum alkohol atau penekan SSp dengan setiap analgesik karena bertambahnya depresi SSP dan pernafasan.
• Anjurkan klien untuk mencari pertolongan profesinal dalam mengurangi adiksi narkotik. Beritahu klien mengenai program pengobatan metadon dan sumber lainnya di daerah saudara.
• Peringati klien bahwa pemakaian narkotik yang terus menerus dapat menimbulkan adiksi.
• Sebelum menjalani pembedahan besar, klien biasanya memerlukan narkotik selama 2-3 hari. Obat, dosis, dan interval dosis berubah-ubah sesuai dengan keperluan klien. Tindakan nonfarmakologik untuk meredakan nyeri mungkin membantu, seperti mengubah posisi, menggosok punggung, dan ambulasi. Jika nyeri menetap, pengobatan mungkin perlu diubah berdasrkan penilaian nyeri.

• Beritahu klien untuk melaporkan jika mengalami pusing atau sulit bernafasa ketika memakai narkotik. Pusing dapat disebabkan oleh hipotensi ortostatik. Nasehatkan klien untuk berjalan dengan hati-hati atau hanya dengan bantuan.
• Beritahu klien untuk melaporkan jika mengalami konstipasi dan retensi urin.
• Evaluasi
• Evaluasi efektifitas dari analgesik narkotik dalam mengurangi atau meredakan nyeri. Jika nyeri menetap setelah beberapa hari, sebab harus ditentukan atau narkotik perlu diganti.
• Evaluasi stabilitas tanda-tanda vital. Tanda-tanda abnormal, seperti penurunan tekanan darah harus dilaporkan.
http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/05/proses-keperawatan-obat-analgesik.html